Diposting oleh Catatan Kampus Unhalu on 01.03

Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat, bagi manusia untuk menjalani dan metanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga sering ter­jadi sengketa di antara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.

Dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusiaa dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dije­laskan di atas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.

Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanan di mana mereka dimakamkan dan terjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungan beserta arwah leluhurnya. Tanah adat meru­pakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu. Tanah telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, serta pendukung suatu negara, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio shie qua non.

A.Hukum Tanah Adat dalam Hal Hak Persekutuan atau Hak Pertuanan

Umat manusia ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau ada yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain di suatu wilayah yang terbatas, yang dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.

Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak-hak tertentu atas tanah ituu dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan. Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan yang berkuasa, memungut hasil dari tanah itu dengan membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang serupa itu. Juga, sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka bertanggung jawab terhadap orang-orang dari luar masyarakat itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah tanah masyarakat itu.

Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan terletak pada daya timbal-balik daripada hak itu terhadap hak-hak yang melekat pada orang perorangan atau individu. Semakin kuat hubungan individu dengan tanah, makin memperdalam hubungannya dengan hukum perseorangan (terhadap tanah itu), dan makin kecillah hak yang dimiliki masyarakat terhadap sebidang tanah itu.

Apabila anggota persekutuan melewati batas penggunaannya itu, misalnya melakukan penggarapan tanah untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam artian untuk memperkaya diri sendiri, maka mereka akan diperlukan seberapa jauh sebagai orang-orang dari luar persekutuan, yang selanjutnya hak-hak persekutuan yang bersifat ke luar akan diberlakukan terhadap mereka. Sekali laai di sini dapat terlihat bahwa sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial adanya.

Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga memiliki hak untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan. Hak membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya salah satu daripada fanda munculnya nak persekutuan atau beschikingsrecht dan hanya ada pada anggota-anggota masyarakat atau tanah-tanah di lingkung­an hak pertuanan itu sendiri.

Para pernimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk mencabut kembali hak pakai atas tanah karena alasan-alasan tertentu. Misalnya, apabila lahan lama telah lama ditinggalkan, atau si penggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai ahli waris, atau karena suatu perjanjian tertentu masyarakat hukum adat, atau karena si perjanjian telah berkelakuan kurang baik terhadap perse­kutuan hukum.

Hak persekutuan atau pertuanan juga dapat berlaku ke luar. Dalam hal . hak persekutuan atau beschikkingsrecht berlaku ke luar, orang-orang di luar persekutuan, misalnya orang-orang dari persekutuan tetangga, hanya boleh memungut hasil dari tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana pengakuan di muka serta dana ganti rugi di kemudian hari. Hak sedemikian ini hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang terbatas, biasanya dalam praktik yaitu satu kali panen saja, dengan kemungkinan untuk dilanjutkan lagi. Orang luar tersebut tidak akan pernah memiliki hak untuk memiliki tanah tersebut, bahkan hak-hak mereka dapat saja dibatasi oleh persekutuan dalani hal membuat perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan tanah.

Hal lain yang dapat menimbulkan konflik di bidang pertanahan adalah karena tidak jelasnya pembatasan daerah atau tanah persekutuan atau bes­chikkingsrecht. Artinya, ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut hukum adat adalah konstruksi yuridis yang abstrak, sehingga batas-batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang satu dengan yang lainnya yang bertetanggaan sering kali tidaklah jelas adanya. Ketika satu persekutuan hukum adat mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan hukum adat tetangganya.

Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik, adalah adanya prinsip bahwa tanah persekutuan atau pertuanan tersebut tidak dapat dipindah­tangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya, pada waktu terjadi perbedaan pendapat tentang kepemilikan hak antar persekutuan hukum tentang batas­batas tanah tersebut, masing-masing persekutuan hukum akan membela haknya dengan segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan haknya atas tanah yang telah mereka klaim, yang mungkin telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja.

Dalam hal beschikkingsrecht, yang dimaksnd adalah hak menguasai atau memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat dari Prof. Van Vollenhoven. Sehingga, fungsi ke dalam maupun ke luar dapat disimpulkan sebagai hak pakai oleh setiap warga masyarakat daerah persekutuan atas tanah demi kepentingan bersama dalam masyarakat daerah persekutuan serta persekutuan lainnya.

Sementara itu, ada juga hak perseorangan atau individu atas tanah. Dalam hal ini ada beberapa hak perorangan atau individu dalam tertib hukum ­masyarakat persekutuan, antara lain hak milik atas tanah, yaitu hak yang di­miliki oleh anggota persekutuan terhadap hak ulayat. Pada dasarnya, yang bersangkutan belum mempunyai kekuasaan penuh atas tanah yang dimilikinya atau dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa menguasainya secara bebas, karena hak milik ini masih mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial dimaksud akan terlihat dengan jelas dan dibahas lebih lanjut dalam pokok bahasan berikutnya. Sehingga, jika seandainya persekutuan sewaktu-waktu membutuh­kan tanah itu, maka hak milik dapat menjadi hak persekutuan kembali. Di Bali, hal seperti ini dikenal dengan istilah kelakeran.

Hak menikmati, yaitu hak yang diberikan persekutuan pada seseorang untuk memungut hasil darj tanah tersebut untuk satu kali panen saja. Hak ini mirip dengan hak yang dinikmati oleh orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu.

Hak yang dibeli, vaitu hak yang diberikan pada seseorang untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang lain. Hal ini terjadi karena yang membeli itu adalah sanak saudara dari si penjual, atau tetangganya, atau berasal dari satu anggota persekutuan yang sama, Hak memungut hasil karena jabatan, yaitu hak yang diberi pada seseorang atau individu yang sedang memegang jabatan tertentu di dalam persekutuan hukum adat tersebut, dan hak itu tetap ia miliki selama memegang jabatan yang dimaksud seperti yang dibahas sebe­lumnya; “tanah bengkok” di Jawa merupakan suatu contoh konkret tentang hak ini.

Hak pakai yaitu hak yang diberikan kcpada seseorang untuk mengambil hasil dan sebidang tanah. Misalnya, di Minang ada hak atau sawah pusaka, sedang anggota-anggota persekutuan mempunyai hak pakai atas tanah-tanah bagian sawah pusaka yang dibagikan kepada mereka untuk dipungut hasilnya yang sering disebut gamggan bantuak, di mana anggota-anggota perseku­tuan juga mernpunyai hak pakai atas tanah kerabat yang tidak dapat dibagi-bagi, dan tokoh-tokoh hukum adat setempat yang serupa dengan itu.

Hak gadai dan hak sewa, yaitu hak-hak yang timbul karena perjanjian atas tanah. Hak gadai dari si pemegang gadai, juga halnya seseorang yang menyewa tanah dengan pembayaran uang sewa lebih dahulu. Hak raja, yaitu hak yang diberikan pada raja untuk memungut hasil karena kedudukannya.

Sebagaimana telah diketahui, sebelum berlakunya UUPA di Indonesia terdapat dualisme dalam hukum pertanahan, yaitu yang bersumber pada Hukum Adat dan yang bersumber pada Hukum Barat. UUPA mengakhiri dualisme tersebut dan menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional kita.

Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sebagai berikut :

1. Sumber-sumber hukum yang tertulis:

  1. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3);
  2. Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960);
  3. Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA;
  4. Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA; yang dikeluar­kan sesudah tanggal 24 September 1960 yang karena sesuatu masa­lah perlu diatur;
  5. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku ber­dasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan.

2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis :

  1. Norma-norma Hukum Adat yang sudah di-saneer;
  2. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik Admi­nistrasi.

Dalam hal tersebut, termasuk pula didalamnya kebiasaan dan tingkah laku orang Indonesia terhadap tanah, yaitu sebagai berikut :

  1. Hak membuka tanah
  2. Transaksi-transaksi tanah
  3. Transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah

Menurut penulis, Hukum Tanah Adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini, ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, yaitu hanya didasarkan atas pengakuan serta ada pula yang mempunyai bukti autentik.

Hukum Tanah adat terdiri dari dua jenis, pertama hukum tanah adat masa lampau. Hukum Tanah Adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya berdasarkan pengakuan ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau se­kelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan, daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada.

Kedua, hukum tanah adat masa kini, yaitu hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa:

1. Girik, Petuk Pajak, Pipil

Misalnya di DKI Jakarta, girik terdiri dari 2 (dua) jenis, girik milik adat yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh pribumi yang telah didaftarkan sebelum dan sesudah tahun 1945. Tanah. tersebut pada umumnya di atas tanah hak barat dan memang dari semula sudah dikuasai oleh pribumi. Kemudian apabila dimohon haknya .sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria, dapat diterbitkan sertifikat hak milik. Untuk mengetahui status tanahnya dapat dilihat dari riwayat tanah. Dahulu yang menaeluarkan riwayat tanah adalah Instansi Pajak Bumi dan Bangunan dan pada saat ini adalah Kantor Kelurahan atau Kepala desa setempat.

2. Hak Agrarisch Eigendom

Hak Agrarisch Eigendom adalah suatu hak ciptaan pemerintah Belanda yang bertujuan akan memberikan kepada orang-orang Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat.

3. Milik Yayasan

Milik yayasan adalah tanah-tanah usaha bekas tanah partikelir yang diberikan kepada penduduk yang mempunyainya dengan hak milik (hak yasan = hak milik adat). Lihat ketentuan Pasal 5 UU No.1 Tahun 1958 tentang Pengha­pusan Tanah-Tanah Partikelir.

4. Hak atas Druwe

Hak atas druwe adalah istilah hak milik yang dikenal di lingkungan masyarakat hukum adat di Bali.

5. Hak atas Druwe Desa

Hak atas druwe desa adalah bila masyarakat mernbeli tanah untuk dipakai buat kepentingan-kepentingannya sendiri, maka di sini dapat disebut "hak miliknya" dusun atau wilayah. Dikenal dalam masyarakat Bali dengan istilah hak atas druwe desa.

6. Pesini

Pesini ialah harta kerabat tak terbagi-bagi yang di Minahasa disehat dengan barang kalakeran. Mengenai keadaan tetap tak terbagi-baginya barang yang diperoleh atas usaha perseorangan, yaitu barang pesini, misalnya tana­man-tanaman di atas tanah kalakeran, maka bila pemiliknya itu mati lantas diwarisi sebagai harta bersama dari golongan anak-cucunya orang yang meninggal dunia itu. Jadi, golongan anak cucunya merupakan sebagian kecil dari kerabat seluruhnya yang memiliki harta kalakeran.

7. Grant Sultan

Grant Sultan adalah semacam hak milik adat, diberikan oleh Pemerintah Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.

8. Landerijenbezitrecht

Tanah-tanah landerijenbezitrecht oleh Gouw Giok Siong disebut tanah-­tanah Tionghoa, karena subjeknya terbatas pada golongan Timur Asing, terutama golongan Cina.

9. Altidjddurende Erfpacht

Altidjddurende Erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang berada di bawah sewa turun-temurun untuk selama-lamanya. (S.1915 No. 207, Pasal 1 ayat (1), Dalam Terjemahan Beberapa Staatsblad dan Bijblad tentang Pengaturan Tanah Partikelir, Jakarta, 5 Juli 1988, hlm. 4). Golongan Timur Asing di sekitar Jakarta banyak yang mempunyai tanah di atas apa yang disebut "tanah partikelir" dengan "hak usaha", seperti orang-orang pribumi.

10. Hak Usaha atas Tanah Bekas Partikelir

Tanah usaha adalah bagian-bagian tanah partikelir yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dari Peraturan tentang Tanah-Tanah Partikelir (S.1912-422). Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Pasal 6 ayat (1) 5.1912 Nomor 422 mengatakan: "Semua tanah yang oleh penduduk pribumi dan penduduk yang disamakan dengan mereka diolah, digarap atau dipelihara atas biaya dan risiko sendiri untuk dijadikan tempat tinggal atau semacam itu, kecuali kekecualian yang terdapat dalam reglemen ini, dianggap diberikan sebagai Tanah Usaha, dengan syarat membayar kepada Tuan Tanah, pungutan-pungutan yang dalam hubungan itu harus dibayarnya.

11. Fatwa Ahli Waris

Fatwa ahli waris adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh Bukti terhadap suatu masalah (dalam hal ini masalah pewarisan).

12. Akte Peralihan Hak

Akte peralihan hak adalah perubahan data yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, peralihan hak karena warisan, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi dan peralihan hak tanggungan.

13. Surat Segel di Bawah Tangan

Yaitu perbuatan hukum mengenai pera­lihan sebidang tanah atas kesepakatan para pihak dan pemberian sepihak yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perbuatan hukum semacam ini pada umunuiya dilakukan masyarakat dan badan hukum scbelum berlalunya PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

14. Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia)

Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia) adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh pribumi yang berada di atas hak-hak barat dulunya. Kemudian didaftar di Kantor Pajak Pendaftaran Daerah dulunya sekitar tahun 1960 sampai dengan tahun 1964. Khusus di wilayah Provinsi DKI Jakarta, surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) ini oleh Kantor Pajak Pendaftaran Daerah telah diserahkan kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dan riwayat tanahnya dapat diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta. Dan kalau dimohon haknya bisa menjadi hak milik.

15. Hak-Hak Lainnya Sesuai dengan Daerah Berlakunya Hukum Adat tersebut

Selain hak-hak di atas, masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah putuskan oleh pengadilan.

1. Hak Perorangan

Hak perorangan ialah hak yang diberikan kepada warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada diwilayah hak ulayat persekutuan yang berasangkutan. Hak ini termasuk dalam hak ulayat, dan merupakan hak pribadi kodrati atas lingkungan tanah dari masyarakat hukum adat, dimana ia menjadi anggotanya.

Sifat dan ciri-ciri hak miliki :

1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus didaftarkan.

2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya. (Pasal 20 UUPA).

3. Dapat dialihkan kepada pihak yang menienuhi syarat. (pasal 20 jo. Pasal 26 UUPA).

4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang.

2. Subjek Hak Milik

Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah, maka hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik, seperti yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 21 UUPA:

(1) Hanya warga Regara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarga­negaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah angka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

(4) Selama seseorang di samping kcwarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.

3. Terjadinya Hak Milik­

Terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang di dalam Pasal 22 UUPA disebutkan:

(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pe­merintah.

(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena:

  1. penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetap­kan dengan peraturan pemerintah.
  2. Ketentuan undang-undang.

4. Pembebasan

Pasa1 24 UUPA menyebutkan bahwa penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Pasal ini memberikan kemungkinarn untuk membebani hak milik dengan hak atas tanah lain. Kebutuhan nyata dari masyarakat menuntut agar diberikan kesempatan kepada bukan pemilik untuk mempergunakan tanah hak milik. Inilah yang menjadi alasan bahwa hak miliki dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah lainnya. Hak-hak yang dapat membebani hak milik adalah hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang.

5. Peralihan

Hak milik dapat dipindah haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan cara jual beli, hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan­perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 26:

(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah.

(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengarn wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kenada orang asing, kepada seorang warga negara yang di sacnping kewarganegaraan Indonesianya mempu­nyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah tennaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanalulya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlang­sung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

B. Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal

Peraturan yang Tengatur tentang pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal adalah Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per­tanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998.

Peraturan ini menurut pengamatan penulis sangat kontroversial selama kurun waktu Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, sehingga penulis berpendapat antara lain :

1. Untuk hak milik atas tanah di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebaiknya untuk sementara waktu tidak diberikan.

2. Untuk wilayah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia, badan hukum yang diperbolehkar. mempunyai hak milik adalah

  1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
  2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berda­sarkan Undang-Undang No.79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No.139);
  3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Agama;
  4. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Selanjutnya, peraturan tertanng pemberian hak untuk yang dimaksud, menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia yang luasnya 600 M2 (enam ratus meter persegi) atau kurang, atas permohonan yang bersang­kutan dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang haknya dengan Hak Milik.

2. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia yang luasnya 600 M2 (enam ratus meter persegi) atau kurang yang sudah habis jangka waktunya dan masih dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas permohonan yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang hak.

PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Jual belitanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah.

Dadala pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas lembaga hukum dan sistem Hukum Adat.Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat yang telah di-saneer yang telah dihilangkan cacat-cacatnya/ disempurnakan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sumber-sumber huukum yang tertulis berupa Undang-Undang Dasar 1945, UUPA, peraturan- peraturan pelaksana UUPA, dengan peraturan- peraturan lama yang masih berlaku.Adapun sumber-sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat yang telah di-saneer dan Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi.

Dengan demikian ada 2 fungsi atau peranan dari Hukum Adat. Yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelangkap dari ketentuan-ketantuan Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak terjadi kekososngan Hukum karena hukumnya belum diatur sehingga kegiatan masyarakat yang berhibungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.

Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan damai.

Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga tanah uyang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas ( hanya sebagian saja). Belum lunasnya harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dinggap telah selesai.Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual.Jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli.

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukan da;lam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :

  1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak diwajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut
  2. Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila para pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.

Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain , jual beli serentak selesai dengan tercapai persetujuan atau persesuaian kehendak ( konsesnsus ) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli dihadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang terang, berarti tidak gelap. Sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan sah menurur hukumnya.

Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan cal;on pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah diantara mereka sendiri setelah mereka sepakat atas harga tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer.

Jual beli tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yaitu:

1. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar uang yang pernah dibayarkan. Antara lain, menggadai, menjual gade, adil sende, ngejual akad atau gade.

2. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untujk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya. Antara lain, adol plas, runtemurun, menjual jaja.

3. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian setelah beberapa panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali ( menjual tahunan, adol oyodan ).

B. Jual Beli Tanah Menurut UUPA

Dalam UUPA istolah jual beli hanya disebutkan dalam pasa 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang menyebutkan jual beli , tetapi disebutkan sebagai dialihkan.

Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengikat dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional dan Hukum Adat. Berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum adat.Maka pengertian jual beli menurut Hukun Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut hukum adat.Hukum Adat yang dimaksud adalah Pasal 5 UUPA tersebut adalah hukum adat yang telah di- saneer yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/ hukm adat yang telah disempurnakan/ hukum adat yang telah dihilangkan kedaerahannnya dan diberi sifat nasional.

Perjanjian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yangh sefatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa de3ngan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.

Sejak berlakunya PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli diahadapan PPAT, dipenuhi syarat terang ( bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi )

Syarat jual beli tanah ada 2, yaitu :

1.Syarat Materiil

Syarat Materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :

a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan

Maksudnya pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya.untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergfantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut.Apakah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai. Menurut UUPA yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah ( pasal 21 UUPA ) jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah tersebut jatuh pada negara ( pasal 26 ayat 2 UUPA).

b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tertentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah tersebut.Akan tetapi pemilik tanah adalah 2a oarang maka yang berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu bersama-sama.

c. Tanah hak yang bnersangkutan boleh diperjual belikan dan tidak sedang dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjual belikan telah ditentukan dalan UUPA yaitu hak milik ( pasal 20), hak guna Usaha ( pasal 28), hak guna bangunan ( pasal 35 ), hak pakai ( pasal 41 ),

2. Syarat formal

Setelah semua persyaratan materiil telah dipenuhi maka PPAT ( Pejabat Pembuat Angka Tanah ) akan membuata akta jual belinya. Akta jual beli menurut pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat ( pasal 5 UUPA), sedangkan dalam hukum adat sistem yang dipakai adalah sistem yang konkrit/nyata/riil.

Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, berupa:

1. Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanhanya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.

2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendafratan tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.

C. Penghibahan Tanah

Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara sukarela, tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudfah si wasiat meninggal dunia.Pengertian Hibah juga diatur dalam pasal 1666 KUHPerdata.

Kekuatan huku akta hibah terletak pada fungsi akta autentik itu sendiri yakni sebagai alat bukti yang sah menurut UU sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang merupakjan keharusan dari ketentuan per-Undang-Undangan, bahwa harus ada akta-akta autentik sebagai alat pembuktian.

Hal-hal yang membatalkan akta Hibah telah dijelaskan dalam pasal 1688 BW. Suatu hibah tidak dapat ditarik kembal;i maupun dihapuskan karenanya melainkan dalam hal-hal berikut.

a. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan.

b. Jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.

c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.

Dalam menyelesaikan masalah dalam penghibahan hendaknya tidak melihat satu pasal tentang hibah saja, akan tetapi nperlu juga melihat pasal lain yang terkait dengan objek yang dihibahkan dalam BW dan juga peraturan perundanangan untuk refisi KUHPerdata mendatang, penyebutan akta notaris diganti dengan akta autentik, baik hibah untuk benda-benda bergerak maupun tidak bergerak.

D. Pewaris Tanah

Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan pasal 26 UUPA. Pewaris dapat terjadi karena ketentuan Undang-Undang atau karena wasiat dari orang yang mewasiatkan.

Dengan jatuhnya tanah kepada para ahli waris, terjadilah pemilikan bersama tanah hak milik jika tanah tersebut hanya satu-satunya.Akan tetapi, jika pewaris memiliki tanah tersebut sesuai dengan jumlah ahli waris dan telah dibuatkan surat wasiat maka tanah dimaksud telah menjadi milik masing-masing ahli waris.

Untuk memperoleh kekuatan pembuktian tanah dari hasil pewarisan, maka surat keterangan waris sanagat diperlukan disamping sebagai dasar untuk pendaftaran tanahnya.Namun sampai saat ini, untuk memperoleh surat keterangan waris, hukum yang berlaku bagi WNI masih berbeda-beda.

Sejak berlakunya peraturan pemerintah No.10 Tahun 1961 tentangh Pendaftaran Tanah, dan sesuai dengan pasal 25, surat keterangan warisan itu merupakan suatu keharusan.hanya saja, pejabat yang berwengang untuk membuat surat keterangan warisan itu belum ditentukan. Untuk menyeragamkan masalah surat keterangan waris, dengan memperhatikan penggolongan warga negara, maka:

  1. Golongan keturunan Eropa, surat keterangan waris dibuat oleh notaris.
  2. Golongan penduduk asli/pribumi, surat keterangan waris oleh para ahli waris, disaksikan oleh lurah, diketahui oleh camat.
  3. Golongtan keturunan Tionghoa oleh notaris.
  4. Golongan keturunan Timur Asing lainnya surat keterangan waris dibuat oleh balai harta peninggalan.

E. Perwakafan Tanah

Menururt Moh. Anwar wakaf ialah menahan suatu barang dari dijualbelikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan tertentu yang diperbolehkan oleh orang yang ditentukan Syara` serta tetap bentuknya, dan boleh dipergunakan, diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan ( yang menerima wakaf) atau umum menurut David Pearl dalam bukunya “ A taxtbook on Moslem Law “, ( 1979 ) Wakaf adalah Menyerahkan tanah atau benda-benda lain yang dapat dimanfaatkan oleh umat islam tanpa merusak atau menghabiskan pokoknya kepada seseorang atau suatu badan hukum agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam seperti mewakafkan tanah untuk pembangunan Mesjid, Madrasah, Pondok Pesantren, Asrama yatim Piatu, dsb.Keberadaan wakaf telah mendapat pengakuan UUPA seperti yang telah terkandung dalam pasal 49.

Ruang lingkup pengaturan perwakafan tanah mencakup :

  1. Tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang berstatus hak milik, karena ia mempunyai sifat terkuat dan terpengaruh bagi si pemilik tanah tersebut, sehingga dari siafat tersebut si pemilik tanah tidak terikat dengan tenggang waktu dan persyaratan tertentu dengan pemilikan dan penggunaannya. Oleh karena itu, apabila tanah itu diwakafkan, tidak menimbulkan akibat yang dapat mengganggu sifat kekekalan dan keabadian kelembagaan wakaf tanah.
  2. Perwakafan tanah harus diperuntukan untuk masyarakat banyak, bukan untuk kepentingan pribadi, karena akan mendatangkan manfaat dan maslahat bagi masyarakat. Ketentuan ini melekat pada hak atas tanah yang dianut dalam UUPA.
  3. Tanah wakaf terlembagakan untuk selama-lamanya dalam waktu yang kekal dan abadi. Tidak ada wakaf yang bertentangan waktu tertentu.
  4. tujuan peruntukan sebagai kepentingan peribadatan atau kepentingan umum.
  5. Wakaf memutuskan hubungan kepemilikan antara wakif dengan mauqufbih-nya selanjutnya status pemiliknya menjadi milik masyarakat luas.
  6. Wakif tidak mbiasa menarik kembali terhadap tanah yang telah diwakafkan.

7. Ikrar harus dilakukan didepan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, guna mendapatkan akta autentik yang akan dapat dipergunakan dalam berbagai hal seperti untuk mendaftarkan tanahnya kepada kepala kantor badan pertanahan Nasional ataupun sengketa yang terjadi dikemudian hari.

0 komentar:

Search